Kali ini gue mau bahas cerpen aja dah, waktu lagi iseng-iseng ngeseacrh gue nemu cerpen yang lumayan bagus dan kira-kira bisa dapat awards dari gue. Tapi gue gak plagiat kok tapii gak papa kali gue bagi cerita nya. tapi gue lupa pengarangnya siapa. tapi siapapun lo cerita lo bagus !!!
Hadiah Ulang Tahun
Ketika
seorang ramaja berjalan dilorong tergelap hidupnya. Ketika dia ingin membunuh
semua orang. Ketika dia berfikir bahwasannya membunuh adalah seni yang
dilakukkan secara dingin dan saat dia berkata
“Jika
seluruh orang di dunia ini menolaku karena dosa dan kebencianku. Maka seluruh
orang di dunia akan MATI!”
DHUAK!
Kutendang
batu besar di tepi jalan sampai terpental jauh. Kakiku cukup kuat kalau hanya
untuk menendang batu besar. Menghancurkannyapun bukan hal yang sulit bagiku
yang bertubuh kuat ini. Aku terus berjalan menuju rumahku. Matahari disaat
siang begini memang sangat panas. Aku pulang sekolah sebelum waktunya karena
aku sudah dikeluarkan dari sekolah. Baru saja kepala sekolah mengeluarkanku.
Aku tidak terkejut dengan hal ini. Bagiku dikeluarkan dari sekolah bukanlah
sesuatu yang gigantis. Berkelahi dan mematahkan tangan teman seperti yang tadi
kulakukan pada Izar juga bukan hal yang gigantis bagiku. Aku mematahkan tangan
anak itu dengan mudah, semudah kepala sekolah mengeluarkanku dari sekolah.
Aku
terus berjalan menuju rumahku. Rumah besar yang hanya dihuni oleh aku dan
ayahku. Saudara kembar dan ibuku sudah mati. Rumah putih yang sangat sunyi.
Mugkin ini adalah kuburanku, bukan rumahku. Aku sampai di depan gerbang. Tinggi
sekali pintu gerbang rumahku, mungkin sekitar 7 meter. Ayahku sudah
menganggapku seperti binatang buas. Tidak ada yang membuka pintu gerbang ini
saat aku pulang ke rumah, sama seperti pintu hati setiap orang yang selalu
tertutup untukku. Kulompati pagar 7 meter itu dengan sekali loncatan. Senang
juga punya tubuh seperti binatang buas. Dan aku tahu nanti aku harus
diperlakukan seperti binatang buas lagi, karena aku telah dikeluarkan dari
sekolah. Kubuka pintu rumahku yang besar, ayahku sudah menunggu, seperti
menunggu binatang buas.
"Aku
pulang! Tadi aku berkelahi dan...."
"Ayah
sudah tahu. Kepala sekolah tadi sudah menghubungiku. Aku juga sudah mencari SMA
baru untukmu. Biaya rumah sakit temanmu juga sudah kubayar. Lain kali jinaklah
sedikit, kalau tidak ingin pindah kandang terlalu sering."
"Terima
kasih ayah." Jawabku datar menganggapi ucapannya yang kejam. Ayah hanya
membiayai hidupku tanpa peduli nasibku. Dia hanya memberi makan binatang buas
dan memberinya kandang! Dan akulah binatang itu, anaknya sendiri. Kulihat
dinding kamarku yang putih, kosong dan sepi. Aku berdiri , kulihat cermin besar
yang ada di kamarku. Kutatap diriku yang ada di cermin dengan penuh benci!
Kulihat diriku yang berkulit seputih kertas,dan mata sehitam malam. Kutahu
tubuh ini adalah tubuh remaja yang sempurna, sekuat banteng merah dan setampan
pangeran. Tapi bagiku semua ini tak ada artinya mengingat aku hanyalah raga
dengan jiwa yang telah hancur, aku hanyalah mayat hidup!
Pikiranku
melayang, meratapi nasibku 7 tahun yang lalu. Awal penderitaanku, sebuah hari
yang takkan pernah kulupakan. Hari di mana seluruh dunia mengutukku! Hari
dimana jiwaku telah mati bersama adikku Aradas. Tujuh tahun lalu waktu usiaku
masih sepuluh tahun, aku dan Aradas diculik. Kami yang masih kecil ini tak
berdaya ketika ditangkap para penculik yang bertubuh besar dan kejam. Kami
hanyalah anak kecil waktu itu. Kami disekap di gudang yang pengap dan tidak
diberi makan. Aradas saudara kembarku tubuhnya jauh lebih ringkih dariku, dia
tidak bisa bertahan. Dia meninggal di hari kedua kami diculik. Waktu itu
kupikir ia tengah tertidur, para penculik lalu membawanya entah ke mana. Aku
tak bisa berbuat apa-apa untuk Aradas. Para penculik khawatir aku juga akan
mati! Mereka memberiku makan. Yang kutahu itu hanyalah daging biasa, aku tak
tahu kalau itu adalah daging adik kembarku yang telah mati. Mereka memasaknya
untukku dan memberikanya untukku dan memberi tahuku setelah aku selesai
memakanya.
"Wah
sepertinya kau makan dengan lahap. Waktu kecil ikan hiu memang memakan
saudaranya agar tetap hidup. Sepertinya kau hiu yang ganas."
"Apa
maksudmu ?" aku sungguh tidak mengerti maksud menusia culas di depanku.
Manusia itu kembali terkekeh.
"Bodoh
yang kamu makan itu adalah daging saudara kembarmu sendiri!"
"Apa?!"
Sentakku kaget.
Emosiku
langsung memuncak mendengar apa yang dikatakan penculik itu. Sebuah luapan
emosi yang terlalu deras mengalir ke seluruh tubuh. Tubuhku langsung terasa
panas! Sebuah keajaiban terjadi. Tubuhku menjadi sangat kuat! Aku mengerahkan
seluruh tenaga. Tali yang mengikatku kuputus dengan mudah! Kupukul penculik di
depanku itu dengan sangat keras, dan dia langsung MATI! Penculik lain ketakutan
melihat kekuatanku. Mereka kubunuh satu-persatu dengan tenagaku yang kuat ini.
Tak tersisa satu penculikpun malam itu. Mereka kubunuh dan mati. Aku berlari di
gudang yang gelap itu. Kucari sisa mayat Aradas. Aku menemukan mayatnya dalam
keadaan mengenaskan, kedua lengannya sudah tidak ada, jantungnya sudah diambil.
Mereka pasti telah memasaknya untukku. Dasar penculik terkutuk!
Aku
meninggalkan gudang yang gelap itu, lalu berjalan sambil menggendong mayat
Aradas yang berlumuran darah. Tak terbayang seperti apa perasaanku saat itu,
sedih dan takut yang terlalu kuat. Dingin sekali malam itu, gelap. Purnama
terlihat sangat pucat. Wajahku bertambah putih, tubuhku menjadi kuat dan keras,
mata dan rambut berwarna semakin hitam. Mungkin ini efek dari aku memakan
saudara kembarku sendiri.
Kubuka
pintu rumahku sambil menggendong Aradas. Kulihat ayah sedang kebingungan dan
ibu sedang menangis. Mereka berdua terkejut melihatku yang berkulit seputih
kertas, dan berdiri di depan pintu sambil menggendong mayat Aradas.
"Apa
yang terjadi nak?" Tanya ibu dengan terkejut sambil menangis.
"Kami
diculik bunda! Aradas dibunuh!" Jawabku tersedu-sedu sementara ayah masih
terpaku, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Aku menaruh mayat Aradas, dan
berlari dengan ketakutan ke arah ibu. Aku menangis sejadi-jadinya, lalu aku
pingsan. Aku sudah tak bisa menahan tekanan mental yang terlalu berat ini.
"Rashova!
Rashova!" Kudengar ayah memanggil namaku, memecah lamunanku.
"Ya,
ada apa yah?" Jawabku sambil membuka pintu kamar.
"aku
sudah mendaftarkanmu di SMA Putih, karena nilai akademismu tinggi kau langsung
diterima, kau besok bisa langsung berangkat ke sekolah."
"Baik,
ayah." Jawabku menutup pembicaraan
Sejak
kematian Aradas, ayah tak pernah bicara lebih dari satu menit padaku. Sejak itu
pula ibu menjadi sakit-sakitan dan mati 2 bulan setelah Aradas. Dia menyusul
Aradas, anak kesayangannya dan meninggalkan aku. Rashova. Anak terkutuknya.
Hari
ini aku masuk SMA Putih, SMA terbaik di kotaku. Aku akan masuk di kelas 11 S,
sebuah kelas di SMA Putih. Menurut rumor di SMA Putih terdapat seorang siswa
yang sangat kuat dan cerdas, tapi aku yakin aku jauh lebih hebat daripada anak
itu. Entah seperti apa anak itu.
Kumasuki
ruang 11S, hari pertama aku harus memperkenalkan diri di depan para siswa. Guru
matematika menyuruhku untuk memperkenalkan diri sebelum pelajaran dimulai. Kuperkenalkan
diriku di depan 20 siswa lainnya.
"Namaku
Rashova, aku pindahan dari SMA Sains." Kataku setelah dipersilahkan guru
"Hobimu
apa?" Tanya seorang siswi yang duduk di depan.
"Aku
tak punya hobi, aku membenci segala hal di dunia ini. Tak ada yang kusukai!"
"Apa
motto hidupmu?" seorang siswa yang ternyata seorang ketua kelas, turut
melontarkan pertanyaan kepadaku.
"Aku
tak punya hal-hal seperti itu. Hanya saja banyak orang yang ingin kubunuh, dan
sedikit orang yang ingin kuhidupkan kembali." Kataku datar.
Suasana
mendadak hening setelah aku katakan aku ingin membunuh banyak orang, dan tak
ada yang bertanya lagi. Sekarang suasana semakin mencekam, aku duduk disalah
satu bangku yang masih kosong. Beberapa anak tampak merinding melihatku yang
berkulit seputih kertas, seputih hantu. Pelajaran pertama dimulai, matematika.
Sebuah pelajaran yang sangat mudah dihadapkan padaku yang ber-IQ diatas 200.
Aku bisa menemukan jawaban soal matematika hanya dengan melihatnya. Perhitungan
kulakukan didalam pikiran, jauh lebih cepat dibanding di atas kertas atau
kalkulator. Bagiku pelajaran terasa membosankan, aku putuskan untuk keluar
kelas.
"Pak,
maaf. Aku ingin keluar sebentar. Aku ingin pergi ke UKS, kepalaku sedikit
pusing." Kataku berbohong.
"Oh
ya, silahkan. Apa kamu tahu tempatnya?"
"Biar
aku cari sendiri pak."
"Baiklah,
silahkan keluar."
"Ya."
Jawabku singkat.
Kutelusuri
sekolah ini, aku ingin melihat-lihat. Mungkin saja ada yang menarik. Sekolah
ini cukup bagus juga. Di sekolah banyak pohon besar, gedung-gedungnya juga
megah. Lalu aku berjalan disebuah koridor, kulihat segerombolan kakak bertubuh
besar sedang nongkrong disana. Sepertinya mereka preman sekolah. Tapi aku tak
takut, aku tetap lewat koridor itu.
"Sepertinya
ada anak baru!" kata seorang dari mereka.
"Padahalmasih
baru, tapi sudah nakal ya? Berani beraninya keluar kelas di saat jam pelajaran
begini." sahut yang lain.
"Sebaiknya
kita saja yang memberi pelajaran pertama pada anak ini, serahkan uangmu anak
kecil!"
"Minggir!"
ucapku sinis
"Wah
berani sekali anak ini! Ayo serahkan uangmu!" Seorang dari mereka
membentakku sambil menarik kerahku.
"Singkirkan
tanganmu a*****, atau kau pulang dengan satu kaki."
"Wah
anaka ini benar-benar kurang ajar!" kata seorang dari mereka,
perkelahianpun dimulai. Aku dikeroyok lima anak dihari pertamaku, perkelahian
ini tak terhindarkan.
Mereka
semua hanya bertubuh besar tapi sangat lemah. Perkelahian kuselesaikan hanya
dalam lima menit. Tapi aku tidak sampai mematahkan tangan mereka. Aku tidak mau
dikeluarkan lagi dari sekolah. Mereka hanya kuhajar sedikit. Kuancam mereka
agar tidak melapor. Lagipula siapa yang percaya lima siswa bertubuh besar
dihajar oleh anak baru kelas 11.
Aku
kembali ke dalam kelas. Berikutnya pelajaran kimia. Di saat pelajaran entah kenapa
aku terpikir sesuatu, entah kenapa aku takut ada yang tahu tentang masa laluku.
Aku harus mencegah hal ini terjadi, saat jam istirahat berikutnya aku harus
melakukan sesuatu. Aku harus jadi penguasa di sekolah ini, agar tak ada yang
berani mencari tahu masa laluku yang kelam. Jam istirahat berbunyi, aku maju ke
depan kelas.
Druak!
Kupukul tembok sampai retak! Suaranya sangat keras dan membuat semua anak
ketakutan!
"Kalian
semua dengarkan aku! Mulai sekarang,aku, Rashova akan menjadi penguasa kalian
dan kalian semua harus tunduk padaku atau kuhajar kalian satu persatu!"
"Hey,
kau hanya anak baru! Mau cari gara-gara ya?!!" seorang siswa mencoba
melawan. BRUAKH! Kupukul anak itu sampai terpental dua meter! Cukup untuk
membuatnya kesakitan.
"Semua
yang melawanku akan kubuat menderita! Ingat itu baik- baik!" kecamku.
Bug!
Tiba tiba seseorang menendangku dengan sangat kuat dan cepat! Aku bahkan tak
sempat melihat gerakannya, aku terbentur ke tembok. Tubuhku rasanya remuk.
Belum aku berdiri, dia sudah menginjak kakiku lalu dia memelintir tanganku, dan
memukul perutku dengan sangat keras. Gerakan anak itu begitu cepat, aku tak
berkutik, tak bisa menangkis serangannya. Aku tersungkur memegangi perutku yang
kesakitan karena pukulannya yang sekeras tendangan kuda.
"Kau
anak itu ya? Aku tadi melihatmu menghajar lima orang senior kita!" katanya
dengan tenang dan tanpa emosi.
"Siapa
kau?!" kataku terbata-bata karena badanku yang terasa remuk!
"Aku
Ares, aku juga siswa di sini. Kau bertingkah kurang ajar, jadi harus
kuhentikan. Maaf ya." kata katanya sangat tenang, air mukanya sangat
santai bahkan detak jantungnya tidak berubah saat menghajarku. Baru pertama
kali aku bertemu dengan orang seperti ini.
"Lain
kali kau pasti kuhajar! Ingat itu brengsek!"
"Terserah…
aku hanya mengingatkanmu. Oh ya aku juga tahu masa lalumu."
"Apa?!
Mustahil, mana mungkin?" sebuah pernyataan itu membuatku terhenyak.
Dia
pergi keluar kelas, lalu kulihat dia melompat ke lantai limahanya dalam satu
kali lompatan. Orang itu kuat sekali, perutku masih terasa sakit menerima
pukulannya tadi yang sekuat kuda. Baru kali ini ada orang yang bisa membuatku
kesakitan. Aku juga penasaran, bagaimana mungkin dia tahu masa laluku. Apa dia
hanya menggertak, tapi dilihat dari matannya dia serius. Sial.
Jam
pulang sekolah berbunyi. Aku pulang ke rumah berjalan kaki. Luka karena dihajar
Ares memang cukup parah, tapi tubuh istimewaku ini lebih cepat pulih dari pada
tubuh orang biasa. Sebelum aku sampai di rumah, luka-lukaku sudah sembuh. Tapi
rasa kesal karena dikalahkan Ares masih bergejolak. Aku menggerutu terus
sepanjang jalan, ingin kulampiaskan emosiku tapi entah pada siapa.
Di
tengah perjalanan aku dihadang seorang preman, badan preman itu penuuh tattoo.
Dia berjalan sedikit sempoyongan, sepertinya setengah mabuk. Dilihat dari
gelagatnya dia berniat memerasku.
"Heh
bocah! Mana dompet?" katanya sempoyongan. Hari ini aku sedang sangat
kesal,aku bahkan tak berminat menjawab omongannya, langsung saja kulampiaskan
emosiku pada orang ini. Kuhajar habis-habisan, kupukul dia sekuat tenaga.
Pukulanku mungkin membuat lambungnya pecah, tapi aku tak peduli karena aku
sedang kesal. Dasar anjing kali ini pulanglah kau dengan satu kaki, geramku
sambil terus menghajarnya. Kedua tulang keringnya kupatahkan, darahnya mengucur
banyak sekali. Kutinggalkan preman ini begitu saja setelah puas menghajarnya.
Sebenarnya aku juga ingin mencongkel matanya sekalian, tapi kupikir hanya
mengotori tangan putihku saja.
Sampai
di rumah aku langsung melompat ke lantai dua rumahku, berdiri di balkon
sejenak. Lalu masuk ke kamarku yang besar. Di dalam kamar kepalaku terus
berfikir bagaimana carannya mengalahkan Ares yang kuat itu. Sejenak kulihat
lemariku yang besar kemudian aku teringat pernah membeli pistol dan kusimpan di
sana. Aku lalu membuka lemari itu. Kulihat sebuah pistol berwarna perak. Pistol
inilah yang akan menembus kepala Ares. Aku harus membawanya besok. Aku tak bisa
membiarkan ada orang yang lebih kuat dariku berkeliaran disekolah yang sama
denganku. Akan kubunuh dia sepulang sekolah esok.
Hari
esok yang kunanti telah tiba. Hari ini akan kubunuh Ares! Dendam adalah
hidangan lezat jika disajikan secara dingin. Akan kubunuh dia dengan kejam!
Akan kutembak kepalanya berkali-kali! Lagipula dia tahu masa laluku,walau entah
benar atau tidak. Tapi yang jelas hari ini Ares harus mati! Aku langsung
berangkat ke sekolah, melompat turun dari balkon kamarku di lantai dua. Aku
langsung berada di halaman rumahku yang luas, berlari melompati pagar rumah
setinggi tujuh meter dengan gerakan yang lancar seperti biasanya. Sampailah aku
di depan jalan depan rumah. Siap untuk membunuh Ares!
Aku
berjalan ke sekolah dengat niat membunuh, bukan belajar. Riang sekali aku pagi
ini karena orang yang lebih kuat dariku akan segera kubunuh. Aku melewati jalan
di mana aku kemarin menghajar preman habis-habisan. Pasti preman itu sekarang
sudah mati, tak mungkin dia bertahan hidup dengan luka–luka yang kubuat.
Tiba-tiba sekelompok orang berpenampilan preman berjalan cepat dan
menghampiriku. Salah seorang dari mereka langsung memukul kepalaku dengan
tongkat besi, aku langsung pusing. Preman yang lain tak ketinggalan
menghajarku. Aku tak berkutik, serangan mereka terlalu mendadak. Aku juga kalah
jumlah, mereka terlalu banyak. Aku tak sempat mengambil pistolku yang terlempar
bersama tasku saat dipukul tadi. Aku sempoyongan, hampir tak sadarkan diri.
Tiba tiba kulihat seseorang bergerak dengan sangat cepat menolongku dari
serangan yang lebih mematikan! Tapi setelah itu aku pingsan dan tak tahu
apa-apa lagi.
Sadar
– sadar aku sudah ada di rumah sakit. tubuhku penuh denganm luka bacok. Rasanya
aku hampir mati, ternyata seperti ini ya rasanya dihajar habis-habisan. Sakit
sekali. Anehnya lagi ada yang peduli padaku dan membawaku ke rumah sakit.
Padahal ayahku saja tak peduli jika aku sakit. Di saat aku masih penasaran
siapa yang membawaku ke sini seorang dokter masuk.
"Wah
syukurlah kamu sudah sadar." ucap dokter mengawali pembicaraan.
"Siapa
yang membawaku ke sini dok?"
"Teman
SMA-mu, tapi dia matanya terluka. Meski tadi sempat dioprasi tapi matanya sudah
terlanjur buta. Katanya dia terluka karena harus berkelahi sambil melindungimu
yang tengah pingsan. Matanya jadi sasaran bacokan golok para preman."
"Apa?
Ada yang menolongku sampai segitunya? Memang siapa nama anak yang
menolongku?"
"Oh
karena kamu tadi pingsan jadi tak tahu ya? Kalo tidak salah tadi namanya
Ares."
"Ares?"
mendengar nama itu aku lemas.
"Iya
bersyukurlah kamu punya teman sebaik dia. Jarang ada orang mau melindungi
temanya sampai sejauh ini. Sudah dulu ya, sebentar lagi saya ada jadwal
operasi."
Darahku
langsung mengalir deras begitu mendengar nama Ares disebut. Hancurlah harga
diriku, orang yang ari ini akan akan kubunh justru menyelamatkan nyawaku.
Mahluk macam apa aku ini?! Payah. Rasa dosa merengkuh jiwaku. Rasa dosa yang
sama besarnya seperti yang dulu kurasakan saat memakan daging Aradas.
tok-tok.
Seseorang
memasuki kamarku lagi. Kali ini yang masuk adalah orang yang baru kukenal
kemarin dan ingin kubunuh pagi tadi. Tapi dia justru menyelamatkan nyawaku pagi
ini juga.
"Jadi
kamu sudah sadar?" sapa Ares tanpa tersirat penyesalan karena matanya
telah buta untukku.
"Jadi
benar yang tadi itu kau?"
"Dokter
sudah bilang ya? Huh,sudahlah tak usah dibahas,anggap saja tidak ada
apa-apa."
"Bodoh!
Untuk apa kau menyelamatkanku?! Aku ini musuhmu! Asal kau tahu saja tadi pagi
aku berniat..."
"Membunuhku
kan?"
"Apa?
Mana mungkin kau tahu?" aku terkejut.
"Kita
sama-sama anak istimewa. Kau anak ber-IQ tinggi dan bertubuh kuat. Aku juga
sama denganmu. Lebih dari itu aku juga bisa membaca pikiran orang lain. Aku
tahu kau kan membunuhku, aku juga tahu tragedi yang menimpa Aradas. Aku juga
tahu rasa takut yang kau rasakan malam itu. Aku tahu masa lalumu. Persis
seperti yang kukatakan padamu kemarin."
"Tak
kusangka kau tahu sejauh itu."
"Aku
juga tahu ,jauh di dalam hatimu kau sebenarnya anak yang baik. Karena itulah
aku menolongmu."
"Jangan
bercanda. Mana mungkin aku baik. Aku ini jahat. Aku yang telah memakan mayat
Aradas. Aku juga yang telah menyebabkan ibu mati. Aku juga yang ingin
membunuhmu!"
"Percayalah,
aku tahu kau sudah terlalu lama berjalan di gua masa lalu yang kelam. Karena
itulah kau dapat melihat cahaya harapan di masa depan, selemah apapun
itu."
"Jangan
bicara sembarangan!"
"Pada
dasarnya kau takut, jika kau kembali menjadi baik kau tetap dibenci dan ditolak
oleh semua orang. O leh teman temanmu,olehku, dan oleh ayahmu. Lalu kau berlari
ke arah kejahatan, agar kau tidak merasakan rasa kecewa yang kau takutkan
ini."
"aku
tak seperti yang kau pikirkan! Jangan mentang mentang kau telah menyelamatkan
nyawaku kau bicara seenaknya!"
"Tapi
itulah yang kau pikirkan. Aku bisa membaca pikiran orang lain ingat?" dia
menghela nafas sejenak. "Kau jadi penjahat terhebatpun pada akhirnya yang
tersisa hanyalah kekosongan. Percayalah. Kejahatan takkan pernah menghasilkan
apapun. Takut akan kecewa, lari dari kenyataan. Huh! Hanya pengecut yang takut
pada rasa kecewa dan lari dari kenyataan. Kau tidak hidup di masa lalu!"
"Aku
bukan pengecut!!!!" Aku berteriak dengan sisa-sisa tenagaku.
Kerongkonganku kering.
"Kalau
begitu jadilah anak baik. Akan kutunjukan jalanmu. Lekas sembuh. Sebuah
kedamaian dan ketenangan menunggumu."
"Aku
tak tahu kau ini sebenarnya siapa."
"Aku
bukan siapa-siapa. Aku juga tidak ingin menjadi siapa-siapa. Aaku juga tidak
ingin apa-apa. Asalakan hidupku tenang bagiku itu sudah cukup. Sampai nanti,
Rashova."
"Maaf
soal matamu." akhirnya hanya kata-kata itu yang terlontar dari mulutku.
"Oh
ya tak apa. Mata kiriku masih cukup untuk melihat kedamaian di SMA Putih."
ucapnya seraya meninggalakan kamarku.
Kata-kata
Ares terus terngiang di kepalaku. Aku sadar dia sepenuhnya benar. Aaku takut
kecewa jika jadi anak baik. Aku takut jika aku kembali ke jalan yang benar
sudah tak ada yang tersisa untukku. Selama ini aku hanyalah lari dari
kenyataan. Aku hanya pengecut yang genius dan bertubuh kuat. Aku hanyalah singa
berhati tikus.
Tiga
hari sudah aku di rumah sakit. Tubuhku yang istimewa ini pulih dengan cepat
meski luka yang kuderita cukup parah. Hari ini aku akan berangkat ke sekolah.
Tapi kali ini ada satu hal yang berbeda. Sudah kuputuskan aku akan menjadi anak
yang baik, tak peduli entah nantinya ayahku atau teman temanku menerima
perubahanku ini atau tidak. Yang pasti aku akan berubah jadi anak yang baik.
Ares pasti akan membantuku, mengingat dia bahkan rela matanya buta untuk
nyawaku. Baru sepuluh menit aku berjalan kaki, tiba tiba terjadi sebuah
penjambretan di depanku. Seorang gadis dari SMA lain kalungnya direbut paksa
oleh dua orang penjambret. Kali ini aku akan melakukan kebaikan pertamaku.
Kuambil batu sebesar bola bisbol di dekatku lalu kelemparkan batu itu ke kedua
penjambret yang tengah kabur dengan motornya. Dua ratus meter jarak penjambret
itu dariku, batu yang kulempar melayang sejauh itu pula. Batuku menghantam
dengan keras lengan penjambret yang mengendarai motor. Mereka langsung jatuh
tersungkur.
"Eh
kalung ini milikmu kan?" kataku seraya menyerahkan kalung itu
"Ya
ampu... Terimakasih. Seragamu itu, kamu Ares ya? Katanya di SMA putih ada siswa
kuat bernama Ares. itu kau?"
"Oh
bukan. Ares itu temanku, aku hanya siswa baru di sana."
"Oh
begitu, ternyata di SMA putih ada dua anak hebat ya. Oh ya aku Rhea,namau
siapa?"
"Aku
Rashova, sudah dulu yah! Aku harus bernagkat, ada urusan penting. Sampai
nanti." ucapku seraya berlari ke arah sekolah.
Sesampainya
di sekolah, aku melihat Ares. Dia tersenyum melihatku. Sepertinya dia sudah
membaca pikiranku dan tahu apa yang sudah kualami. Selamat pagi Ares kataku
dalam hati. Kutahu dia bisa mendengar sapaanku dengan membaca pikiranku. Aku
masuk ke ruang kelas seperti biasanya. Mulai sekarang aku akan menjadi anak
baik. Meski sadar aku tak kan pernah menyamai Ares.
Waktu
terus berputar, sang takdir mulai menunjukan wujudnya. Perubahan watakku disambut
baik oleh setiap orang. Aku mulai hidup tolong-menolong dengan teman-teman. Aku
tak pernah berkelahi lagi. Aku hidup layaknya anak SMA pada umumnya. Sikap ayah
padaku juga tak sedingin dulu, sekarang aku dan ayah lebih sering mengunjungi
makam Aradas dan ibu. Hidupku tak segelisah dulu. Meski rasa dosa karena
terhadap Aradas masih ada, tapi rasa itu tak seganas dulu. Aku hidup tenag dan
damai, seperti yang dikatakan Ares.
Lima
hari lagi Ares berulang tahun. Aku belum pernah memberi hadiah ulang tahun pada
orang lain sebelumnya. Kuputuskan untuk keluar rumah untuk mencari hadiah yang
layak untuk Ares. Aku mulai berjalan melewati pinggiran rel kereta api dekat
daerah kekuasaan premanyang dulu pernah mengeroyokku. Kuharap mereka telah jera
dan tak kan mengganggu orang lagi. Kulewati tempat itu sambil mengingat apa
yang dulu terjadi padaku di sini. Seseorang berjalan mendekatiku dengan cepat
saat aku tengah melamun, aku tak menyadarinya.
JLEB.
Tahu-tahu dia mengeluarkan belati dan menusukku dari belakang. Aku tak sempat
menghindar. Aku berlumuran darah. Dia masih belum puas, aku yang sudah tak
berdaya kembali ditusuk. Perutku terkena serangan belatinya. Setelah itu dia
berlari, menghindari amukan masa yang telah melihat perbuatannya padaku.
Tiba-tiba Ares datang! Melihat apa yang telah terjadi, ia menjadi geram dan
mengejar preman itu dengan sangat cepat. Hanya tujuh detik preman itu berhasil
dikejar. Dengan sangat beremosi Ares memukul perut preman itu. Si preman
terlihat sangat kesakitan menerima pukulan Ares yang sekuat tendangan kuda.
Ares lalu menendang preman yang sudah tek berdaya itu ke kereta api yang
kebetulan melintas! Tubuh preman itu hancur seketika tertabrak kereta.
"Rashova!
Kau tidak apa-apa?!" tanya Ares gusar. Aku tak bisa menjawab. Kesadaranku
menurun karena aku terlalu mengeluarkan banyak darah. Aku pingsan dan dibawa
kerumah sakit oleh Ares. Sadar-sadar aku sudah di rumah sakit. Luka di perutku
sangat parah. Ususku robek terkena tusukan belati. Aku dirawat di rumah sakit
berhari-hari,namun kali ini banyak teman-teman yang menjengukku. Ayah juga
sering menjenguk. Aku tahu usiaku sudah tidak panjang lagi. Ususku yang robek
sudah mulai membusuk dan harus dibuang sebagian.
Di
sebuah malam yang sunyi aku tak bisa tidur. Aku takut jika aku tidur aku tak
bisa bangun lagi. Kupaksakan tubuhku yang lemah ini untuk bangun. Kulepas semua
peralatan kesehatan yang membantukku hidup. Kuambil sebuah pena dan kertas,
rasanya aku besok sudah pasti mati. Tak mungkin tubuh ini terus bertahan sampai
besok. Berbagai penyesalan datang silih berganti. Sedih sekali rasanya harus
mati. Aku teringat baru beberapa minggu jadi anak baik. Dan sudah berapa lama
ku menjadi anak jahat. Yang dulu kulakakukan, lebih dari sebuah ‘kenakalan
remaja’. Tapi yang kulakukan sudah tergolong ‘kejahatan remaja’. Entah apa yang
akan kualami di akherat nanti. tapi sekarang aku harus lakukan apa yang bisa
kulakukan. Kutulis pesan terakhir di secarik kertas.
Ayah,
Ares, teman-teman semuanya... maaf ya. Maafkan aku atas segalanya. Maafkan aku
atas Aradas, maafkan aku atas kejahatanku selama ini. Aku telah gagal menjadi
anak yang baik. Dan sekarang kesempatanku telah habis…
Ares,
maaf ya aku besok tak bisa ikut merayakan ulang tahunmu. Oh ya, meski aku tidak
ikut tapi aku akan tetap memberimu sebuah kado. Tenang saja kadoku takkan
merepotkan, karena aku akan memberikan mata kananku. Ambilah mata ini agar
hutangku sedikit terbayar, dan agar aku tenang di sana. Oh ya tolong ya doakan
aku, semoga nanti “di sana ” aku bisa bertemu Aradas dan Ibuku…
Kurasakan
badanku semakin melemas. Tak ada tenaga untuk menggerakkan badanku lagi. Kakiku
terasa dingin, dingin sekali seperti aku sudah tidak memilikinya. Nafasku mulai
tersedak, dan aku sadar, inilah ujung dari hidupku…
Aradas…
ibu… Aku datang….
THE END
Enjoy Readers !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar